NUSA TENGGARA TIMUR(NTT)
Beribukota
di Kupang dengan letak Geografis Terletak pada 8o-12o LS
dan 118o– 125o BT; wilayah daratan seluas 47.350 Km2 dengan
garis pantai sepanjang 5.700 Km2; Batas Wilayah Utara
berbatasan dengan Laut Flores, Timur berbatasan dengan Republik Demokratik
Timor Leste dan Kepulauan, Barat berbatasan dengan Kab. Rote Ndao dan Laut
Sawu, dan Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia; Jumlah penduduk
4.448.873 orang (NTT dalam angka Tahun 2008); Wilayah NTT memiliki jalan
sepanjang 17.069,60 km, terdiri dari jalan negara/pusat sepanjang 2.464,32 km,
jalan Provinsi 1.738,81 km, dan sisanya
sepanjang 12.866,81 menjadi wewenang kabupaten.
Pemerintah Provinsi NTT dipimpin oleh Gubernur Drs. Frans
Lebu Raya dan Ketua DPRD Drs. I.A. Medah , serta Sekretaris Daerah Fransiskus
Salem, SH, Msi.
Budaya Nusa Tenggara
Timur
Provinsi NTT kaya akan ragam budaya baik
bahasa maupun suku bangsanya seperti tertera dalam di bawah ini:
Jumlah Bahasa Daerah
Jumlah bahasa yang dimiliki cukup banyak dan
tersebar pada pulau-pulau yang ada yaitu:
Pengguna Bahasa di Nusa Tenggara Timur
Timor, Rote, Sabu, dan pulau-pulau kecil
disekitarnya: Bahasanya menggunakan bahasa Kupang, Melayu Kupang, Dawan
Amarasi, Helong Rote, Sabu, Tetun, Bural:
Alor dan pulau-pulau disekitarnya: Bahasanya
menggunakan Tewo kedebang, Blagar, Lamuan Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui,
Kolana, Kui, Pura Kang Samila, Kule, Aluru, Kayu Kaileso
Flores dan pulau-pulau disekitarnya:
Bahasanya menggunakan melayu, Laratuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue, Sikka,
lio, Lio Ende, Naga Keo, Ngada, Ramba, Ruteng, Manggarai, bajo, Komodo
Sumba dan pualu-ulau kecil disekitarnya:
Bahasanya menggunakan Kambera, Wewewa, Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wanokaka,
Loli, Kodi
Jumlah Suku /Etnis
Penduduk asli NTT terdiri dari berbagai suku
yang mendiami daerah-daerah yang tersebar Diseluruh wilayah NTT, sebagai
berikut:
Helong: Sebagian wilayah Kabupaten Kupang
(Kec.Kupang Tengah dan Kupang Barat serta Semau)
Dawan: Sebagian wilayah Kupang (Kec. Amarasi,
Amfoang, Kupang Timur, Kupang Tengah, Kab timor Tengah selatan, Timor Tengah
Utara, Belu ( bagian perbatasan dengan TTU)
Tetun: Sebagian besar Kab. Belu dan wilayah
Negara Timor Leste
Kemak: Sebagian kecil Kab. Belu dan wilayah
Negara Timor Leste
Marae: Sebagian kecil Kab. Belu bagian utara
dekat dengan perbatasan dengan
Negara Timor Leste
Rote: Sebagian besar pulau rote dan sepanjang
pantai utara Kab Kupang dan pulau
Semau
Sabu / Rae Havu: Pulau Sabu dan Raijua serta
beberapa daerah di Sumba
Sumba: Pulau Sumba
Manggarai Riung: Pulau Flores bagian barat terutama
Kan Manggarai dan Manggarai
Barat
Ngada: Sebagian besar Kab Ngada
Ende Lio: Kabupaten Ende
Sikka-Krowe Muhang: Kabupaten Sikka
Lamaholor: Kabupaten Flores Timur meliputi
Pulau Adonara, Pulau Solor dan
sebagian Pulau Lomblen
Kedang: Ujung Timur Pulau Lomblen
Labala: Ujung selatan Pulau Lomblen
Pulau Alor: Pulau Alor dan pulau Pantar.
BUDAYA FLORES TIMUR
Flotim merupakan
wilayah kepulauan dengan luas 3079,23 km2, berbatasan dengan
kabupaten Alor di
timur, kabupaten Sikka di barat utara dengan laut Flores dan selatan, laut
Sawu.
Orang yang berasal dari Flores Timur sering
disebut orang Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot.
Konsep rumah adat orang Flotim selalu dianggap
sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk
menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang
empunya bumi).
Pelapisan social masyarakat tergantung pada
awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah
yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku Mehen yang tiba
kemudian, disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah
dari suku Mehen.
Suku Mehen mempertahankan eksistensinya yang
dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang
dibantu suku Ketawo.
Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang
utama terlihat dalam ungkapan sebagai berikut:
Ola tugu,here happen, lLua watana,
Gere Kiwan, Pau kewa heka ana,
Geleka lewo gewayan, toran murin laran.
Artinya:
Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang
(mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga
(istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.
BUDAYA SIKKA
Sikka berbatasan sebelah utara dengan laut
Flores, sebelah selatan dengan Laut Sabu, dan sebelah timur dengan kabupaten
Flores Timur, bagian barat dengan kabupaten Ende. Luas wilayah kabupaten Sikka
1731,9 km2.
Ibu kota Sikka ialah Maumere yang terletak menghadap
ke pantai utara, laut Flores. Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat
dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang
berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa
pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama
penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal menjadi tuan
tanah di wilayah ini.
Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka.
Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan
bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan
pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa
keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri
pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan
semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal
sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha.
Secara umum masyarakat kabupaten Sikka
terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2) ata Krowe, (3) ata Tana ai,
desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang yaitu: (4) ata Goan, (5) ata
Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9) ata Sabu/Rote, (10) ata Bura.
Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya
pertanian. Adapun kelender pertanian sbb: Bulan Wulan Waran - More Duru
(Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan
Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi
kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan -
Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam palawija
/kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan
Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September).
BUDAYA ENDE
Batas-batas wilayahnya yang membentang dari
pantai utara ke selatan itu adalah dibagian timur dengan kabupaten Sikka,
bagian barat dengan kabupaten Ngada, utara dengan laut Flores, selatan dengan
laut Sabu. Luas kabupaten Ende 2046,6 km2, iklim daerah ini pada umumnya tropis
dengan curah hujan rata-rata 6096 mm/tahun dengan rata rata jumlah hari hujan
terbanyak pada bulan November s/d Januari.
Daerah yang paling terbanyak mendapat hujan
adalah wilayah tengah seperti kawasan gunung Kalimutu, Detusoko, Welamosa yang
berkisar antara 1700 mm s/d 4000 mm/tahun.
Nama Ende sendiri konon ada yang
menyebutkannya sebagai Endeh, Nusa Ende, atau dalam literatur kuno menyebut
Inde atau Ynde. Ada dugaan yang kuat bahwa nama itu mungkin sekali diberikan
sekitar abad ke 14 pada waktu orang-orang maleyu memperdagangkan tenunan besar
nan mahal yakni Tjindai sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan
mereka ke Ende.
Ende/Lio sering disebut dalam satu kesatuan
nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun demikian sikap ego dalam menyebutkan
diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan
sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu.
Meskipun secara administrasi masyarakat yang
disebut Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas
tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (tereitorial kultur) nampaknya lebih
luas Lio dari pada Ende.
Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun
Lio umumnya pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana
(anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap
bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya
secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.
Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut
Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan menengah disebut Mosalaki puu dan Tuke sani
untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata NggaE,
turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan budak dati Ata
Hoo disebut Hoo Tai Manu.
BUDAYA NGADA
Ngada merupakan kabupaten yang terletak
diantara kabupaten Ende (di timur) dan Manggarai (di barat). Bajawa ibu kotanya
terletak di atas bukit kira-kira 1000 meter di atas permukaan laut. Masyarakat
ini dikenal empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai
tanda-tanda kesatuan yang berbeda.
Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo,
(2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri
kekrabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka.
Arti keluarga kekrabatan dalam masyarakat
Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang
lebih luas satu simbol dalam pemersatu
(satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan
nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekrabatan
dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah.
Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang
yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu.
Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan
rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya).
Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari
tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo,
Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.
Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae,
lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo.
Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas tiga, Gae
(bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang
membagi atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja
(bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat).
Para istri dari setiap pelapisan terutama
pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama
menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan
dan pengeluaran.
Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan
Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun
baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas
ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan
Ngada.
BUDAYA MANGGARAI
Manggarai terletak di ujung barat pulau
Flores, berbatasan sebelah timur dengan kabupaten Ngada, barat dengan Sealat
sapepulau Sumbawa/kabupaten Bima, utara dengan laut Flores dan selatan dengan
laut Sabu.
Luas wilayah 7136,14 km2, wilayah ini dapat
dikatakan paling subur di NTT. Areal pertanian amat luas dan subur, perkebunan
kopi yang membentang disebahagian wilayahnya, curah hujan yang tinggi yaitu
dalam setahun mencapai 27,574 mm, sepertiga dari jumlah itu (lebih dari 7000mm)
turun pada bulan Januari.
Ibu kota Manggarai terletak kira-kira 1200
meter di atas permukaan laut, di bawa kaki gunung Pocoranaka
Pembentukan keluarga batih terdiri dari
bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk
klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang dikenal dalam sistim
kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari
adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara
perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema
Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama),
Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik),
Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3
golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang (
kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge (rakyat jelata).
Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti
yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang
bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata). Kaum Gelarang ini
merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara golongan
Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu terancam.
Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan berkemungkinan besar
menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat dibawah ke Bima dan sangat kecil
sekali dapat kembali melihat tempat kelahirannya.